
Setiap tahun, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, menjadi pusat perhatian saat perayaan Cap Go Meh. Ribuan wisatawan dari dalam dan luar negeri berbondong-bondong datang untuk menyaksikan festival yang sarat dengan atraksi ekstrem dan ritual sakral ini. Namun, di balik kemegahan arak-arakan dan pertunjukan menegangkan, tersimpan sejarah panjang serta makna mendalam yang menjadikan Cap Go Meh di Singkawang begitu istimewa, hingga dijuluki Kota Seribu Tatung.
Awal Mula Cap Go Meh di Singkawang
Cap Go Meh secara harfiah berarti “malam kelima belas”. Perayaan ini menandai berakhirnya rangkaian Tahun Baru Imlek, yang jatuh pada hari ke-15 bulan pertama kalender Tiongkok. Di Tiongkok, perayaan ini identik dengan festival lampion, festival bunga, dan berbagai pertunjukan seni. Namun, saat para perantau Tionghoa tiba di Singkawang pada abad ke-18 dan ke-19, mereka membawa tradisi ini dan mengadaptasinya dengan kearifan lokal.
Mayoritas perantau Tionghoa yang datang ke Singkawang adalah dari suku Hakka. Mereka datang untuk bekerja di sektor pertambangan emas dan perkebunan. Untuk menjaga tradisi dan spiritualitas, mereka mengadakan ritual-ritual persembahan, termasuk ritual pembersihan kota dari roh-roh jahat. Ritual inilah yang kemudian berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Cap Go Meh di Singkawang.
Siapa Itu Tatung dan Mengapa Jumlahnya Mencapai Ribuan?
Inti dari perayaan Cap Go Meh di Singkawang adalah ritual Tatung. Tatung adalah sebutan untuk orang-orang yang dipercaya menjadi medium atau perantara bagi roh dewa atau leluhur. Dalam kondisi trans, para Tatung ini melakukan atraksi-atraksi yang sangat ekstrem, seperti menusuk tubuh dengan pedang atau kawat baja, menginjak pedang tajam, bahkan memotong lidah tanpa melukai diri mereka sendiri.
Aksi-aksi ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan bagian dari ritual pemberkatan dan pembersihan kota dari pengaruh roh-roh jahat atau energi negatif. Masyarakat percaya bahwa roh-roh suci yang merasuki tubuh para Tatung akan melindungi kota dan penduduknya dari bencana dan kesialan.
Julukan “Kota Seribu Tatung” bukan isapan jempol belaka. Saat Cap Go Meh, jumlah Tatung yang berpartisipasi dalam arak-arakan bisa mencapai lebih dari seribu orang, bahkan memecahkan rekor dunia. Mereka datang dari berbagai klenteng dan perkumpulan spiritual di Singkawang, bahkan dari kota-kota lain. Ini menunjukkan betapa kuatnya tradisi spiritual dan kepercayaan masyarakat Tionghoa Singkawang terhadap ritual ini.
Toleransi dan Keunikan Budaya di Singkawang
Salah satu aspek paling menakjubkan dari Cap Go Meh di Singkawang adalah perpaduan budaya yang harmonis. Meskipun berasal dari tradisi Tionghoa, festival ini dirayakan bersama oleh berbagai suku dan agama. Masyarakat Dayak, Melayu, dan Tionghoa berbaur menjadi satu, menyaksikan arak-arakan Tatung dan menikmati suasana meriah.
Beberapa ritual yang dilakukan oleh Tatung bahkan mengadopsi elemen-elemen budaya Dayak, seperti penggunaan mandau dan busana adat. Ini adalah bukti nyata akulturasi budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad di Singkawang. Cap Go Meh bukan lagi sekadar perayaan Tionghoa, melainkan festival milik semua warga Singkawang yang melambangkan toleransi dan keberagaman.
Makna Filosofis di Balik Atraksi Ekstrem
Atraksi ekstrem yang dilakukan para Tatung sering kali membuat penonton bergidik ngeri. Namun, di balik itu, ada makna filosofis yang mendalam. Atraksi ini melambangkan pengorbanan dan ketabahan dalam melawan kejahatan. Mereka percaya, semakin berat penderitaan yang dialami Tatung saat trans, semakin kuat pula kekuatan dewa yang melindunginya dan membersihkan aura negatif di sekitarnya.
Pada akhirnya, Cap Go Meh di Singkawang adalah perpaduan unik antara spiritualitas, seni pertunjukan, dan tradisi yang telah mengakar kuat. Ia bukan hanya sekadar festival penutup Imlek, melainkan sebuah manifestasi dari sejarah panjang, akulturasi budaya, dan toleransi yang menjadi identitas sejati Kota Singkawang. Perayaan ini adalah pengingat bahwa di tengah keberagaman, ada kekuatan besar yang mampu menyatukan dan menciptakan harmoni.
0

Tinggalkan Balasan