
Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah terkenal sebagai rumah bagi orangutan liar terbesar di dunia. Namun, sebelum menjadi ikon ekowisata internasional, Sejarah Tanjung Puting menyimpan kisah panjang tentang upaya konservasi, penelitian, hingga pengakuan dunia atas pentingnya kawasan ini.
Awal Penetapan Kawasan Tanjung Puting
Sejarah Tanjung Puting bermula pada tahun 1937, saat pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan ini sebagai Suaka Margasatwa Sampit seluas sekitar 305.000 hektare. Tujuan awalnya adalah melindungi habitat satwa liar, terutama orangutan, bekantan, owa, dan berbagai burung endemik Kalimantan.
Pada tahun 1971, kawasan ini mulai dikenal dunia setelah peneliti primata terkenal, Dr. Biruté Mary Galdikas, mendirikan Camp Leakey sebagai pusat penelitian dan rehabilitasi orangutan. Camp Leakey menjadi simbol dedikasi ilmuwan internasional dalam menyelamatkan orangutan Kalimantan dari kepunahan.
Menjadi Taman Nasional Tanjung Puting
Pada tahun 1982, pemerintah Indonesia meningkatkan status Suaka Margasatwa Sampit menjadi Taman Nasional Tanjung Puting melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 687/Kpts/Um/8/1982. Luas area taman nasional ini diperluas menjadi lebih dari 415.000 hektare, meliputi hutan rawa, hutan dataran rendah, sungai, dan lahan gambut.
Penetapan ini menjadi tonggak sejarah penting yang menegaskan komitmen pemerintah dalam konservasi habitat orangutan dan keanekaragaman hayati lainnya di Kalimantan.
Tantangan dan Ancaman
Sejak awal, Sejarah Tanjung Puting tak lepas dari tantangan serius, seperti perambahan hutan untuk ladang, illegal logging, dan kebakaran hutan. Pada dekade 1990-an hingga awal 2000-an, kebakaran besar pernah menghanguskan sebagian kawasan taman nasional, mengancam populasi satwa liar.
Berbagai organisasi internasional dan lokal kemudian turun tangan bekerja sama dengan pemerintah, melakukan patroli, reboisasi, hingga edukasi masyarakat sekitar.
Tanjung Puting dan Wisata Berkelanjutan
Memasuki era 2000-an, Tanjung Puting mulai dikenal sebagai destinasi ekowisata kelas dunia. Paket wisata kelotok tour (perahu tradisional) menyusuri Sungai Sekonyer menjadi daya tarik utama wisatawan untuk melihat orangutan, bekantan, monyet, buaya, hingga burung rangkong di habitat alaminya.
Ekowisata ini membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal, mulai dari pemandu wisata, pemilik kapal, hingga pengelola homestay. Pendapatan dari wisata ini membantu mendanai program konservasi dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem.
Sejarah Tanjung Puting bukan hanya kisah pelestarian orangutan, tetapi juga bukti nyata bagaimana upaya konservasi, riset ilmiah, dan ekowisata dapat berjalan beriringan untuk menjaga keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kini, Tanjung Puting tak hanya menjadi kebanggaan Indonesia, tapi juga warisan alam dunia yang harus kita jaga bersama.
0
Tinggalkan Balasan